Berdasarkan Global Human Capital Index oleh World Economic Forum (WEF) 2017, peringkat sumber daya manusia (SDM) Indonesia berada pada posisi 65 dari 130 negara, tertinggal dibandingkan Malaysia (peringkat 33), Thailand (peringkat 40), dan Vietnam (peringkat 64). Rendahnya kualitas tenaga kerja yang belum merespon perkembangan kebutuhan pasar kerja merupakan salah satu penyebab mengapa produktivitas dan daya saing SDM Indonesia masih tertinggal. Saat ini proporsi pekerja pada bidang keahlian menengah dan tinggi di Indonesia hanya sekitar 40,60 persen (Sakernas Agustus, 2019), lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sementara itu, pekerja masih didominasi lulusan SMP ke bawah (57,54 persen atau 72,79 juta orang), sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan pendidikan menengah dan tinggi mencapai 8,01 persen. Informasi pasar kerja andal yang belum tersedia dan keterlibatan industri yang rendah, menyebabkan masih terjadinya mismatch antara penyediaan layanan pendidikan, termasuk pendidikan dan pelatihan vokasi, dengan kebutuhan pasar kerja.
Program studi yang dikembangkan pada jenjang pendidikan tinggi juga belum sepenuhnya menjawab potensi dan kebutuhan pasar kerja. Saat ini, mahasiswa aktif dan lulusan perguruan tinggi sebagian besar didominasi oleh program studi sosial humaniora. Selain itu, pembelajaran juga belum mendorong penguasaan soft-skills yang mendukung kebekerjaan, seperti penguasaan bahasa asing, serta kemampuan berpikir kritis, analisis, inovasi, kepemimpinan, negosiasi, dan kerja tim.
Kapasitas adopsi Iptek dan penciptaan inovasi Indonesia masih rendah. Indonesia berada di peringkat 85 dari 129 negara dengan skor Global Innovation Index (GII) 29,72 dari skala 0-100 (2019). Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya belanja litbang terhadap PDB, jumlah paten, serta publikasi sains dan teknik di tingkat global. Selain itu, infrastruktur litbang masih terbatas. Jumlah SDM Iptek masih terbatas dan hanya 14,08 persen diantaranya yang berkualifikasi S3. Ekosistem inovasi belum sepenuhnya tercipta sehingga proses hilirisasi dan komersialisasi hasil litbang terhambat. Kolaborasi triple helix belum didukung oleh kapasitas perguruan tinggi yang memadai sebagai sumber inovasi teknologi (center of excellence).