Peningkatan suatu kualitas, produktivitas, dan mutu dari SDM (sumber daya manusia) merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari dunia pendidikan. Dilihat dari pengertiannya, pendidikan sendiri merupakan suatu komponen yang memiliki keadaan dinamis karena adanya tuntutan kompetensi personal yang dapat mengalami perubahan ditinjau dari waktu ke waktu. Sekarang ini, pendidikan diarahkan dalam membentuk perubahan dan peningkatan yang berkaitan dengan tiga hal, yakni peningkatan kelayakan, kualitas, dan daya saing (Suratman et al., 2019). Upaya peningkatan kualitas suatu sistem pendidikan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan hal-hal yang berkaitan langsung dengan system tersebut, diantaranya adalah kualitas pembelajaran serta kualitas dari sistem penilaiannya. Kedua komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain karena apabila sistem pembelajaran yang dilakukan baik maka akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang baik dan berintegritas. Dalam dunia pendidikan, kurikulum merupakan komponen yang dapat mempunyai peranan yang esensial dalam menentukan keberlangsungan sistem pendidikan. Saat ini, Indonesia masih menerapkan Kurikulum 2013, setelah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum.
Kurikulum 2013 ini termasuk ke dalam kurikulum yang memiliki kompetensi yang mencakup standar kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang telah diatur dalam Permendikbud Nomor 37 tahun 2018. Selain itu, terdapat standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, standar proses, dan standar penilaian juga telah diatur dalam Permendikbud RI Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah (2016). Kurikulum 2013 ini dalam pengimplementasian pembelajaran, menuntut siswa untuk dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dalam membangun pengetahuannya, mengembangkan kemampuan berpikirnya, termasuk kemampuan siswa dalam melakukan berpikir tingkat tinggi (Nurhasanah & Auliyati, 2018). Selain itu, kurikulum 2013 menuntut seorang tenaga pendidik untuk memiliki keahlian dalam merancang instrumen tes berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat melatih proses berpikir kritis serta dapat secara kreatif dalam menyelesaikan masalah (Khaldun et al., 2020). Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau sering disebut dengan Higher Order Thinking Skills (HOTS) ialah salah satu skill yang dibutuhkan pada abad 21 ini. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran yang dapat mengembangkan serta melatih siswa dalam berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran abad ini dianjurkan untuk memiliki 4 kompetensi (4C) bagi siswa. Keempat kompetensi tersebut adalah berpikir kreatif (creative thinking), berkomunikasi (communication), berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving), dan berkolaborasi (collaboration) (Nofrion & Wijayanto, 2018).
Seorang tenaga pendidik perlu untuk mengetahui dan memahami tingkat pemahaman dari siswa yang diajar terhadap materi serta mengetahui sejauh mana siswa berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuannya dalam menganalisis konsep tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara evaluasi hasil belajar siswa pada materi tersebut yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Evaluasi merupakan siklus untuk merancang, mendapatkan, dan memberikan informasi yang diharapkan dapat menyelesaikan beberapa pilihan dalam mengambil keputusan (Purwanto, 2012). Evaluasi ini menjadi bagian penting untuk menentukan tercapainya suatu proses belajar.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003), penilaian siswa yang dilakukan oleh pendidik atau guru tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk memantau proses, kemajuan siswa dan peningkatan hasil belajar yang berkesinambungan. Dalam melaksanakan evaluasi belajar maka diperlukan instrumen asesmen atau instrumen penilaian. Pelaksanaan penilaian oleh pendidik memiliki acuan yang terdapat pada Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan (2016) tentang Standar Penilaian Pendidikan. Menurut Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan (2016), Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar siswa yang digunakan sebagai dasar dalam penilaian hasil belajar siswa pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Asesmen atau penilaian adalah proses yang dilakukan dalam mengumpulkan dan mengolah informasi yang didapatkan dalam pengukuran pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian hasil belajar siswa pada kurikulum 2013 meliputi aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor). Pada kurikulum 2013, penilaian yang dilakukan guru diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam hal berpikir, salah satunya adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen Nasional Indonesia diarahkan menggunakan model penilaian yang dapat membuat siswa dalam berpikir yang tidak hanya mengingat, menyatakan kembali, atau merujuk tanpa pemrosesan informasi (Gradini, 2019). Menurut Widodo & Kadarwati (2013) kemampuan berpikir tingkat tinggi akan dapat membedakan idea ataupun gagasan yang diuraikan secara jelas, dapat mengkonstruksi uraian, dapat berargumen dengan baik, dapat berhipotesis, dapat memecahkan permasalahan, dan dapat memahami hal- hal yang lebih kompleks. Berpikir tingkat tinggi terjadi apabila siswa dapat menganalisis serta mengkreasikan pengetahuan yang mereka dapatkan untuk menghasilkan pengetahuan yang baru. HOTS memiliki level kognitif C4 (analisis), C5 (evaluasi), dan C6 (cipta/kreasi).
Menurut Schleicher (2019) dalam Agustina et al. (2021) hasil survei Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme Internationale for Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan kemampuan ilmiah siswa Indonesia berada di peringkat 71 dari 79 negara. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa di Indonesia memiliki HOTS yang masih rendah. Hal ini dapat disebabkan kurang terlatihnya siswa dalam menyelesaikan tes atau soal-soal yang sifatnya menuntut analisis, evaluasi, dan kreativitas (Kurniati et al., 2016). Menurut Wagner (2010) dalam Hidayah et al., (2017) mengidentifikasi kompetensi serta kemampuan bertahan hidup yang dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan, dunia kerja, serta kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada 7 keahlian, yakni: (1) kemampuan berpikir kritis serta pemecahan permasalahan, (2) ketangkasan serta kemampuan menyesuaikan diri, (3) kerja sama serta kepemimpinan, (4) dapat berbicara efisien baik secara oral maupun tertulis, (5) inisiatif serta berjiwa entrepreneur, (6) mempunyai rasa ingin tahu serta imajinasi, (7) dapat mengakses serta menganalisis data.
Ketercapaian penilaian pada kurikulum 2013 sangat bergantung dengan proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat ini, sebagian besar guru masih lemah dalam aspek penilaian untuk mengukur berpikir tingkat tinggi siswa karena mereka masih kurang memahami asesmen secara menyeluruh (Retnawati et al., 2018). Padahal, seorang guru sangat perlu untuk melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada era sekarang melalui asesmen yang berupa instrumen tes. Hal ini diperkuat dengan survei yang dilakukan ke beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bengkulu. Survei dilakukan dengan penyebaran angket pengumpulan informasi kepada guru kimia. Selain itu, dilakukan observasi soal yang sering digunakan saat proses pembelajaran maupun saat ujian. Berdasarkan hasil angket dan observasi soal menunjukkan bahwa guru masih sangat jarang menggunakan instrumen tes berorientasi pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Instrumen penilaian yang digunakan di sekolah berupa soal yang cenderung lebih banyak menguji pada aspek ingatan, memahami dan menerapkan. Dalam hal ini, buku-buku yang digunakan sudah menyajikan materi yang mengajak siswa belajar aktif dan memiliki sajian konsep sistematis. Namun, sajian pada buku tersebut sering diakhiri soal tes yang kurang melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa seperti penggunaan kata kerja operasional pada soal yang sudah secara jelas memaparkan penyelesaian masalah dalam soal tersebut tanpa melibatkan proses analisis siswa. Selain itu, guru memiliki kendala dalam menyusun instrumen tes berpikir tingkat tinggi, yakni: (1) membutuhkan waktu yang lama dalam penyusunannya, (2) kurangnya pemahaman tentang berpikir tingkat tinggi, (3) tidak ada ide untuk menyusun soal kemampuan berpikir tingkat tinggi. Padahal, kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan oleh siswa di abad 21.